Pertanyaan masa kecilku
- timotiustabe
- Sep 21, 2021
- 3 min read

“Surga di bawah telapak kaki Ibu?”
Ini adalah pertanyaan umum, saya rasa semua orang familiar dengan hal ini. Saya pun mempertanyakan pertanyaan ini ketika masih kecil. Saya mempertanyakan pertanyaan ini bukan karena saya buta akan pemahaman mengenai surga. Meskipun saya masih di usia anak-anak saat itu, tapi saya tahu bahwa surga tidak mungkin di telapak kaki Ibu. Hal ini sejalan dengan pemahaman mengenai tahap perkembangan operasional konkret oleh Piaget. Permasalahannya adalah meskipun saya tahu bahwa hal itu tidak dapat dipahami secara literal, pikiran saya masih sangat sulit untuk menelaah makna figuratif yang terkandung di dalamnya. Saya menggumuli jawaban pertanyaan tersebut karena penggunaan kalimat “ingat loh, surga itu di telapak kaki Ibu” sering kali ditempatkan dalam situasi serius, dalam nasihat-nasihat orang tua, dan dalam adegan serius di film yang saya tonton ketika kecil.
Makna figuratif dari pertanyaan tersebut terbuka bagi saya seiring perjalanan hidup saya. Pertama adalah kesadaran bahwa kalimat tersebut menyiratkan agar seorang anak menghormati ibunya. Saya mempelajari hal itu melalui konteks penyampaian kalimat tersebut, yaitu kepada anak-anak yang nakal saat itu. Sejalan dengan pemahaman itu, maka saya juga memahami bahwa “surga” dalam kalimat tersebut sebenarnya ingin menggambarkan pentingnya kedudukan seorang ibu sehingga seorang anak harus menghormatinya. Hal ini sejalan juga dengan teori perkembangan formal operasional oleh Piaget.
Permasalahan selanjutnya adalah pemaknaan tersebut justru menggiring saya kepada pertanyaan lanjutan, “kalau begitu surga itu di mana?” kemudian “surga itu tempat seperti apa?” Secara sederhana Papa saya mengatakan bahwa itu adalah tempat kita setelah meninggal nanti, tempat di mana kita bisa bertemu dengan Tuhan Yesus. Papa saya menghindari penjelasan yang mendetail, seperti bentuknya seperti apa, di sana lokasinya seperti apa, dan sejenisnya. Intinya beliau menjelaskan bahwa itu adalah tempat yang menyenangkan.
Apabila merefleksikan situasi saya saat itu, saat di mana saya secara kognitif sudah berada di tahap formal operasional, metode menjawab yang disampaikan oleh papa saya sudah menuju ke arah yang tepat. Saya sudah mulai dapat berpikir secara abstrak. Papa saya menyentuh ranah abstrak dengan menggunakan istilah yang tidak terlalu asing seperti “tempat bertemu” dengan Tuhan Yesus, dan juga “tempat yang menyenangkan”. Melengkapi jawaban papa saya, mungkin saya akan menambahkan ayat firman Tuhan yang berisi bahasa gambaran dari Yohanes 14:2 “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”
Tentu saya tidak bermaksud menyerahkan ayat ini untuk dipahami mentah-mentah secara literal. Saya akan mulai menjelaskan kefanaan manusia, contoh yang bisa diberikan misalnya mengenai realitas orang meninggal. Setelah itu saya melanjutkan penjelasan bahwa ada satu tempat yang sedang dipersiapkan oleh Yesus, yang melampaui kefanaan tersebut. Orang-orang yang bisa sampai ke sana adalah mereka yang percaya kepada-Nya, menerima dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kemudian saya akan mengarahkan kepada pertanyaan pernyataan iman untuk percaya kepada Yesus. Apabila sudah pernah sebelumnya, momen ini bisa rekomitmen, tapi apabila belum maka ini bisa menjadi momen untuk menyatakan iman. Setelah itu saya akan mengarahkan kepada petunjuk hidup yang terdapat di dalam perikop tersebut, di mana dikatakan mereka yang percaya menuruti perintah Yesus (Yoh. 14:12 dan 15).
Melalui ayat tersebut, bahkan keseluruhan perikopnya, saya juga bisa menyampaikan pengharapan eskatologis. Menurut saya pemahaman mengenai surga dalam kekristenan tidak dapat dilepaskan dari pengharapan eskatologis. Pengharapan eskatologis hanya dimungkinkan melalui keselamatan yang sudah tersedia bagi semua orang. Keselamatan yang sudah tersedia tersebut hanya dimiliki oleh mereka yang percaya kepada-Nya. Orang-orang yang percaya adalah orang-orang yang seharusnya berusaha untuk hidup taat akan kepada perintah-Nya.
Melihat kepada pemaparan jawaban yang saya berikan di atas, refleksi yang saya dapatkan adalah bahwa kita tidak bisa menganggap remeh pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh anak, adik, atau pun saudara kecil kita. Mereka adalah benih-benih yang seharusnya dirawat, disiram, dan diberi pupuk agar bisa tumbuh dengan baik. Singkat kata, perlu keseriusan dalam menanggapi mereka. Melalui kesadaran yang saya miliki sekarang, saya akan berusaha untuk tanggap dan memberi diri untuk berperan dalam menjawab kebutuhan spiritual anak-anak yang ada di sekitar saya.
Salah satu tindakan praktisnya adalah merespons dengan serius dan memberi jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan teologis yang mereka lontarkan. Sebagai orang tua, sejalan dengan tulisan saya sebelumnya mengenai peran keluarga, urgensi untuk menjawab pertanyaan anak harus sejalan dengan urgensi untuk mencari pemahaman. Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca untuk berjuang bersama, berusaha untuk memahami dan juga memberi pemahaman. Tuhan Yesus memberkati.
Comments