Keluarga Membentukku
- timotiustabe
- Aug 20, 2021
- 2 min read
Updated: Aug 23, 2021
Hai Sobat, "Aku nulis, selamat membaca".
Keluarga membentukku. Saya rasa hal itu pasti relevan terhadap semua orang, terlepas dari apa dan bagaimana keluarga membentuk bisa berbeda. Tulisan ini akan lebih menekankan bagaimana saya terbentuk secara spiritual atau rohani. Ingatan mengenai bagaimana keluarga membentukku ini dilatarbelakangi oleh sebuah pernyataan Greg Baird yang dikutip oleh dosen saya dalam mata kuliah Pelayanan Anak di STT Amanat Agung. Pernyataan tersebut adalah demikian “Children’s Ministry is Family Ministry; Family Ministry is Children Ministry”. Inti dari pernyataan ini adalah kesatuan dari kedua bidang pelayanan tersebut.
Pernyataan tersebut menggelitik saya. Sebelumnya saya sudah pernah mendengar pembahasan sejenis ini dalam mata kuliah Pelayanan Kaum Muda, yaitu metode pelayanan D6 (Deuteronomy 6). Rasa penasaran yang muncul dalam diri saya adalah mengenai bagaimana dosen saya menunjukkan argumentasi mengenai pernyataan tersebut dalam perspektif pelayanan anak. Ternyata, penjelasan yang disampaikan oleh dosen saya membuat saya mengingat kembali bagaimana keluarga saya berperan dalam membentuk saya menjadi seperti saat ini. Terdapat serangkaian kebiasaan yang terbentuk dalam hidup saya melalui keluarga, khususnya melalui orang tua saya, yang melayani sebagai pendeta. Sejak kecil saya dan adik-adik saya sudah dilatih untuk berdoa, dan diberi kesempatan untuk berdoa. Kemudian firman Tuhan juga sering disampaikan mulai dari bentuk cerita, sampai pada bentuk renungan ketika kami sudah mulai mampu memahaminya. Selain itu, sejak kecil papa saya sering dengan sengaja meluangkan waktu hanya untuk berbicara dan memberikan nasihat-nasihat kepada kami anak-anaknya. Tentu saja dalam bahasa yang dapat kami mengerti. Orang tua saya merupakan sosok panutan bagi saya, dan semua yang saya sampaikan tersebut membentuk saya yang saat ini.
Semua yang saya sampaikan sebelumnya terkonfirmasi melalui penjelasan dosen saya. Penjelasan mengenai teori perkembangan iman milik James Fowler menunjukkan bahwa pada usia anak-anak yang digolongkan dengan istilah intuitive projective dan mythical literal, peran orang tua sangat mempengaruhi perkembangan mereka. Melihat kepada perjalanan hidup saya, saya setidaknya memahami dua hal. Pertama adalah kesempatan, dan kedua adalah pemahaman.
Kesempatan yang saya maksud adalah bahwa orang tua saya memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki untuk mendidik saya. Saya tidak merasa kekurangan waktu bersama keluarga, melakukan serangkaian kegiatan bersama dan mendapat bimbingan. Kemudian pemahaman yang saya maksud adalah bahwa saya merasa orang tua saya memahami bagaimana mereka seharusnya melakukan pembimbingan terhadap kami anaknya, khususnya terhadap saya. Maka apabila kita ingin memikirkan mengenai perkembangan spiritual anak, yang menjadi perhatian kita tidak hanya terhadap anak itu sendiri, melainkan terhadap keluarganya secara utuh.
Saya sedang tidak mengabaikan kenyataan bahwa ada hal lain di luar keluarga yang membentuk saya juga. Salah satu “lembaga” yang secara umum kita pahami sebagai wadah pembentukan spiritual anak adalah gereja, yang lebih spesifik kita pahami sebagai pelayanan anak atau sekolah minggu. Memang kerinduan mereka adalah untuk memperlengkapi anak secara spiritual. Namun, berdasarkan apa yang saya sudah alami, ruang dan kesempatan jauh lebih banyak dimiliki oleh orang tua dari pada yang dimiliki oleh gereja.
Oleh karena itu, berdasarkan kesadaran akan hal ini, saya akan berusaha untuk memperlengkapi orang tua dan anak sebagai satu kesatuan melalui pelayanan yang akan saya lakukan. Kemudian bagi para pembaca, sebagai seorang pelayan Tuhan, dalam upaya membentuk anak-anak secara spiritual, marilah kita juga memperlengkapi dan melayani orang tua sebagai orang yang akan berperan lebih banyak dalam membentuk anaknya. Orang tua yang mumpuni secara spiritual akan lebih maksimal dalam membimbing anaknya secara spiritual.
Comments